Name:
Location: Bekasi, West Java, Indonesia

Saturday, September 30, 2006

Gombloh

Mungkin sahabat saya yang paling saya sayangi selain manusia adalah anjing. Saya sangat mencintai hewan yang satu ini. Di rumah saya saat ini saya memelihara anjing kampung dua ekor. Namun yang akan saya ceritakan justru bukan mengenai anjing yang ada di rumah saya melainkan anjing asrama saya.
Saya menempuh masa SMU saya di SMU Sedes Sapientiae di desa Bedono, Ambarawa, Jawa Tengah. Selama tiga tahun saya menghabiskan masa ABG di sebuah asrama Katolik yang dikelola oleh suster-suster Ordo Fransiskan. Selama tiga tahun ada dua ekor anjing yang sempat saya rawat dan pelihara, yaitu Chiko dan Gombloh. Gomblohlah yang paling setia menemani saya selama itu. Anjing ini gagah sekali dengan bulu dada berwarna putih dan warna hitam dominan di sekujur tubuhnya. Meski anjing kampung tapi ia berbadan besar dan kuat. Oya, ia berkelamin jantan.
Setelah Chiko mati, Gombloh datang di asrama untuk membantu para penjaga sekolah menjaga sekolah dan asrama. Ketika datang pertama kali, umurnya masih tiga bulan, masih lucu-lucunya. Para penjaga sekolah tahu kesukaan saya akan anjing, jadi mereka membiarkan saya ikut merawat Gombloh. Bayangkan, saya sampai membeli piring plastik untuknya agar ia bisa makan dan minum dengan leluasa.
Karena sering saya beri makan, maka ia sangat setia dan penurut pada saya. Setiap kali jam makan tiba, baik itu makan pagi, siang dan malam, ia sudah setia menanti makanannya pula. Saya rela membagi lauk yang saya makan untuk Gombloh, padahal seperti halnya di asrama jatah tiap anak hanya satu lauk. Setiap hari minggu sepulang dari gereja, saya selalu mampir di pasar untuk membeli susu kental manis cap Bendera. Bayangkan, untuk anjing saja saya sampai membeli susu yang paling mahal. Padahal, berapa sih uang saku anak asrama? Boleh dibilang tidak banyak, meski begitu saya sangat hemat untuk diri sendiri tapi tidak untuk Gombloh :)
Jika saya sedang enggan membagi lauk, saya memberi Gombloh nasi yang banyak di piringnya kemudian susu kental manis itu saya campurkan dengan nasinya. Gombloh pun makan dengan lahap. Tak heran Gombloh berbadan besar.
Namun yang membuat saya semakin menyayanginya adalah kesetiaannya kepada saya, kepada tuannya. Setiap kali saya lembur belajar sampai jam tiga pagi, ia akan setia menemani saya di ruang belajar. Ia tertidur di samping saya, sementara saya duduk belajar. Apabila saya mulai memberesi buku-buku, otomatis Gombloh akan terbangun dan mulai merenggangkan otot-ototnya. Buntutnya pasti bergoyang senang, dan sebagai penghargaan padanya saya akan menepuk-nepuk kepalanya bercanda sebentar sebelum kembali ke kamar. Kemudian ia akan mengantar saya sampai masuk ke kamar. Kemana pun saya pergi ia akan membututi saya. Bahkan sampai ke sekolah, karena sekolah dan asrama berbatasan langsung. Setiap pagi ia akan membangunkan saya dengan menggaruk-garuk pintu kamar kami. Biasanya teman saya akan membukakan pintu, dan ia akan mencari saya dan buntutnya bergoyang gembira. Oya, kami semua tidur di tempat tidur bertingkat dan saya tidur di atas. Begitu pun setiap doa pagi atau malam, ia akan setia mengikuti saya ke aula asrama.
Saat akan meninggalkan asrama terasa berat bagi saya. Seakan tahu saya akan meninggalkan ia untuk selamanya ia sedih sekali. Ia mendengking-dengking. Saya pun memeluknya dan mulai menangis. Gombloh diam saja saat saya memeluknya dan menangis sedih, seolah ia merasakan hal yang sama. Mungkin saya bodoh karena memperlakukan anjing seperti manusia. Tapi sungguh, Gombloh tak akan tergantikan selamanya. Ia ada di hati saya selamanya. Kesetiaanya membuat saya makin mencintai anjing. Ah, andaikan saja manusia juga berjiwa seperti anjing. Jika demikian tidak ada saling mengkhianati dan menyakiti satu sama lain. Gombloh, dimana pun kau berada dalam hatiku selalu ada ruang khusus untuk mengabadikan dirimu. Selamanya kau adalah sahabat sejatiku!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home