Name:
Location: Bekasi, West Java, Indonesia

Wednesday, October 04, 2006

Cahyadi

Titus Cahyadi Gardjito alias Kwik Kim San. Mendadak saya teringat akan nama itu ketika saya tanpa sengaja mendengar lagu No Me Ames yang dinyanyikan oleh J-Lo dan Marc Anthony. Pikiran saya melayang jauh ke masa-masa indah SMU. Cahyadi, biasa ia dipanggil adalah sahabat saya semasa SMU. Ia kakak kelas saya. Ia amat pendiam, pintar, dan "anti cewek". Saya tertarik untuk menjadi temannya didorong oleh rasa penasaran karena keanehan dirinya. Tapi rupanya sulit mendekatinya, selain kerena pribadinya yang tertutup ia juga banyak menyimpan masalah keluarga yang kelam. Saya tidak putus asa, saya dekati ia. Akhirnya berhasil! Lama kelamaan ia menerima saya sebagai sahabat, sekaligus sebagai adiknya. Kami banyak menghabiskan waktu bersama, curhat, sehingga banyak teman-teman dan guru mengira kami pacaran. Tapi tidak begitu kenyataannya. Cahyadi banyak disukai cewek-cewek, bahkan saya sering menggodanya hingga ia malu. Dan kalau ia malu mukanya menjadi memerah, pokoknya lucu sekali. Kedekatan Cahyadi membuat sifatnya yang malu-malu menjadi lebih terbuka, dan tambah cerewet! Teman laki-laki saya bilang sejak Cahyadi dekat dengan saya ia menjadi cerewet. Hehehehe... Kami saling menyayangi sebagai sahabat. Ketika akhirnya ia selesai dan kembali ke Jakarta, kami masih saling berhubungan.
Bulan Februari tahun 2001, ia mengajak saya bertemu dan main ke rumahnya. Ia anak bungsu dari lima bersaudara dan anak laki-laki satu-satunya. Kami menghabisakan waktu bersama dengan tertawa dan curhat. Waktu itu ia sedang curhat masalah cewek yang ia taksir dan lagu yang sedang kami dengarkan adalah lagu No Me Ames-nya J-Lo dan Marc Anthony. Senang rasanya menggodanya Cahyadi tentang masalah cewek. Ya, hari itu menjadi hari indah terakhir dalam hidup kami.
Lama tidak mendengar kabar dari Cahyadi hampir sebulan lamanya sejak terakhir kali bertemu. Saya heran, tak biasanya ia begini. Saya kemudian menelpon ke rumahnya, dan kakaknya yang mengatakan Cahyadi sudah sebulan terbaring di rumah sakit karena mengalami kecelakaan motor. Mendadak lutut saya terasa lemas. Saya terkejut karena ternyata keadaannya parah. Ia sudah menjalani dua kali operasi kepala karena ada pendarahan di otak.
Setelah itu, saya berupaya untuk bisa menjenguk Cahyadi. Tetapi jadwal kuliah yang padat membuat saya tidak bisa segera menjenguknya. Padahal Edo salah satu teman Cahyadi dan juga teman saya sudah mengajak saya untuk menjenguk. Tapi saya tidak bisa.
Tanggal 30 Maret 2001, adalah hari kelabu bagi saya. Tepat pukul 15.00 Cahyadi menghembuskan nafas terakhir. Saya yang sedang mendapat tugas untuk nonton konser Kenduri Cinta di Senayan tidak tahu sama sekali tentang meninggalnya Cahyadi. Padahal telepon di rumah selalu menerima telepon dari teman-teman yang mengabarkan kematiannya. Saya yang belum punya HP, kesulitan untuk dihubungi oleh teman-teman saya. Mbak Sesi, kakak perempuan saya, yang menghubungi teman saya yang kebetulan ada bersama saya. Dunia bagaikan runtuh menimpa saya saat saya menerima kabar itu. Air mata langsung mengalir deras membasahi pipi saya. Lutut terasa lemas, tak sanggup saya berdiri.
Esoknya harinya saya ditemani oleh teman saya pergi ke rumah duka Atma Jaya, untuk melihat jenazahnya disemayamkan. Saya menangis sejadi-jadinya sampai mata saya bengkak. Tuhan, kenapa? Itu yang saya tanyakan padaNya. Saya bisa melihat betapa dalam duka keluarganya terutama mamanya, Tante Herawati. Hati saya hancur sekali saat itu melihat jenazahnya terbaring kaku di peti mati. Ingin saya peluk, ingin saya cium terakhir kali, tapi tak bisa. Yang lebih menghancurkan saya adalah hari itu, tanggal 31 Maret 2001 adalah hari ulang tahun Cahyadi, 21 tahun usianya seandainya ia tidak dipanggil Bapa. Saya yakin ia akan sembuh, sehingga saya bisa merayakan ulang tahunnya. Tapi Bapa berkehendak lain. Satu hari sebelum ia berulang tahun, Bapa sudah memanggilnya.
Esoknya saat pemakaman di TPU Pondok Rangon, saya terpekur melihat peti matinya. Saya kembali menangis saat petinya masuk ke dalam liang lahat. Tangan saya gemetar mengambil bunga taburan untuk ditaburkan ke dalam liang lahat. Tak lupa saya masukkan kartu ulang tahun ke dalam liang lahat. Hancur hati saya melihat gundukkan tanah merah itu.
Penyesalan saya teramat dalam. Andai saja saya sempat menjenguk ia saat di rumah sakit, mungkin saya masih bisa melihat ia hidup untuk terakhir kalinya. Berhari-hari saya tidur dengan gelisah, membuat mama sedih dan mengingatkan saya untuk merelakan kepergian Cahyadi supaya ia juga bisa beristirahat dengan tenang. Yang lebih menghancurkan hati saya adalah saya orang terdekat Cahyadi selain keluarganya tapi saya pula orang terakhir yang tahu berita kematiannya. Meski kesedihan yang saya alami teramat dalam tapi saya memasrahkan semuanya kepada Bapa, sebab Dialah sang empunya kehidupan. Selamat jalan, sahabat! Semoga arwahmu beristirahat dengan tenang. Kenangan kita akan kukenang selamanya.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home